SELAMA ini, posisi dan sikap para sahabat Nabi dan ulama
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah akidah adalah jelas dan tegas,
begitu pun kaitannya terhadap perayaan hari-hari besar agama lain, termasuk
Natal.
Mengenai hal ini, ada dua pendapat; ada ulama yang
memperbolehkan umat Islam utk mengucapkan "Selamat Natal", dan ada
sebagian ulama yang melarangnya. Setiap pendapat berlandaskan dalil-dalil yg
kuat, baik itu al-Quran maupun Sunah.
Secara umum, perbedaan pendapat para ulama ini mengerucut
kepada satu hal saja; apakah ucapan selamat bagi kaum kristiani yg merayakan
Natal ini masuk ke dalam kategori akidah ataukah masih dalam koridor muamalah?
Pendapat yang melarang
Sebagian ulama, klasik maupun kontemporer, melarang umat
Islam untuk 'ikut campur' dengan perayaan agama lain, tak terkecuali Kristen,
seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syeikh al-Utsaimin, dan lainnya, dengan
dalil-dalil sebagai berikut:
Pertama, mau tidak mau permasalahan ini akan masuk ke dalam
ranah akidah, karena perayaan natal bukanlah hal yg sembarangan dalam keyakinan
kaum kristen. 25 Desember dalam keyakinan nasrani adalah hari 'lahirnya tuhan'
atau 'lahirnya anak tuhan'. Maka tidak ada toleransi dalam akidah, bahkan Allah
Subhanahu wata'ala. sudah secara jelas dan tegas meluruskan klaim ini (lihat
surat al-Ikhlas: 3 atau al-Maidah: 72 & 116, dll).
Ibnu Taimiyah dalam kitab “Iqtidhâ' Shirâti'l Mustaqîm,
Mukhâlafatu Ashâbi'l Jahîm,” (Dar el-Manar, Kairo, cet I, 2003, hal 200) juga
melarang untuk ber-tasyabbuh dengan hari besar kaum kafir, karena hal itu akan
memberikan efek 'lega', bahwa umat Islam 'membenarkan' kesesatan yang mereka
lakukan.
Beda lagi dengan hari-hari kenegaraan, atau hari ibu dan
sebagainya, tidak ada unsur akidah di dalamnya, maka dari itu masih dapat
ditolerir.
Kedua, Qiyas awla dari firman Allah; "إلا من أكره
و قلبه مطمئن
بالإيمان"
"kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam
beriman" (al-Nahl: 106). Apakah jika kita tidak mengucapkan selamat, kita
akan dibunuh?.
Ketiga, toleransi antar umat beragama tidak harus dengan
mengucapkan "Merry Christmas", dengan berakhlakul karimah dan
memperhatikan hak mereka sebagai manusia, tetangga, masyarakat, dan lainnya
sudah cukup mewakili itikad baik kita untuk hidup damai, bersama mereka.
Apalagi dalam Islam, masih banyak momentum yg lebih
'bersahabat' untuk mengungkapkan pengakuan kita terhadap keberagaman ini. Sebut
saja hadits Nabi yang menganjurkan kita agar melebihkan 'kuah sayuran' untuk
diberikan kepada tetangga, atau hadits lainnya yang menunjukkan amarah Nabi
kepada seseorang yang mendapati tetangganya kelaparan, tapi tidak mengulurkan
bantuan. Kebetulan hadits-hadits tersebut tidak mengkhususkan bagi sesama
Muslim saja, tapi umum bagi sesama manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Bagi
yang tidak punya tetangga Nasrani, saya kira dengan menghormati hari raya
mereka, tanpa mengganggu apalagi merusak, adalah lebih dari cukup. Cukup dengan
kata 'silahkan', bukan dengan kata 'selamat'.
Keempat, Saddu al-Dzarî'ah, mencegah diri agar tidak
terjerumus kepada hal yang dilarang.
Pendapat yang membolehkan
Beberapa ulama kontemporer seperti Dr Yusuf Qaradhawi dan
Musthafa Zarqa membolehkan hal ini dengan beberapa pertimbangan;
1) Firman Allah Swt.:
"لا
ينهاكم الله عن الذين
لم يقاتلوكم فى الدين و
لم يخرجوكم من دياركم
أن تبروهم و تقسطوا
إليهم إن الله يحب
المقسطين"
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil." (al-Mumtahanah: 8).
2) Sikap Islam terhadap Ahlul Kitab lebih lunak daripada
kepada kaum musyrikin; para penyembah berhala. Bahkan al-Quran menghalalkan
makanan serta perempuan (untuk dinikahi) dari Ahli Kitab (al-Maidah: 5). Dan
salah satu konsekuensi pernikahan adalah menjaga perasaan pasangan, berikut
keluarganya. (Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Aqalliyyât al-Muslimah, Dar el-Syuruq,
cet II, 2005, hal 147-148). Apalagi hanya dengan bertukar ucapan “Selamat”.
3) Firman Allah Subhanahu Wata'ala:
"و
إذا حييتم بتحية فحيوا
بأحسن منها أو ردوها"
"Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)." (al-Nisa:
86).
4) Pada satu riwayat, seorang Majusi mengucapkan salam kepada
Ibnu Abbas "assalamualaikum", maka Ibnu Abbas menjawab
"waalaikumussalam wa rahmatullah". Kemudian sebagian sahabatnya
bertanya "dan rahmat Allah?", beliau menjawab: Apakah dengan mereka
hidup bukan bukti rahmat Allah.[ Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Aqalliyyât
al-Muslimah, Dar el-Syuruq, cet II, 2005, hal 147-148]
5) Pada masa kini, perayaan natal tak ubahnya adat-istiadat,
perayaan masyarakat atau kenegaraan.[ Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Aqalliyyât
al-Muslimah, Dar el-Syuruq, cet II, 2005, hal 147-148]
6) Hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Sallallahu
alaihi wassallam pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan
berdiri ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang
dianut jenazah tersebut.
Pendapat Pertengahan
Dr. Abdussattar Fathullah Said adalah profesor bidang Tafsir
dan Ulumul Quran di Universitas Al-Azhar, Mesir. Dalam masalah tahniah (ucapan
selamat) ini beliau agak berhati-hati dan memilahnya menjadi dua. Ada tahniah
(ucapan selamat) yang halal dan ada yang haram:
Tahniah (ucapan selamat) yang halal adalah tahniah (ucapan
selamat) kepada orang kafir tanpa kandungan hal-hal yang bertentangan dengan
syariah. Hukumnya halal menurut beliau. Bahkan termasuk ke dalam bab husnul
akhlaq yang diperintahkan kepada umat Islam.
Sedangkan tahniah (ucapan selamat) yang haram adalah
tahni'ah kepada orang kafir yang mengandung unsur bertentangan dengan masalah
diniyah, hukumnya haram. Misalnya ucapan tahniah (ucapan selamat) itu berbunyi,
"Semoga Tuhan memberkati diri anda sekeluarga." Sedangkan ucapan yang
halal seperti, "Semoga tuhan memberi petunjuk dan hidayah-Nya kepada
Anda."
Bahkan beliau membolehkan memberi hadiah kepada non Muslim,
asalkan hadiah yang halal, bukan khamar (minuman keras), gambar maksiat atau
apapun yang diharamkan Allah.
Yang menjadi pertanyaan adalah; bukankah ucapan tahniah
(ucapan selamat) yg berbunyi, "Semoga Tuhan memberkati diri anda
sekeluarga" lebih bersifat sindiran daripada ucapan selamat?. Menurut
penulis, Prof Dr Abdussatar, secara tidak langsung telah melarang kita untuk
mengucapkan 'Selamat Natal', karena ada konsekuensi akidah dibelakangnya.
Sikap Umat Islam
Hal ini pernah dipermasalahkan, saat beberapa kelompok
menggaungkan PNB (Perayaan Natal Bersama) sebagai wujud toleransi antar umat
beragama, seakan-akan seperti ingin menunjukkan bahwa umat Islam yang tidak
merayakan natal bersama berarti tidak tolerir, tidak menghormati umat Nasrani.
Dalam masalah ini, semua ulama sepakat bahwa menghadiri
perayaan hari besar agama lain adalah HARAM hukumnya. Kemudian bagaimana
seharusnya sikap kita kepada presiden Indonesia ke-4 dan ke-6 yang menghadiri
perayaan Natal, bahkan kyai presiden kita yang sempat 'didoakan' oleh umat
Nasrani?.
Muhammadiyah selaku salah satu ormas di Indonesia juga telah
membahas masalah ini; dalam buku "Tanya Jawab Agama Jilid II", oleh
Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah
(1991), hal. 238-240, sudah diterangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah
Haram.
Untuk saat ini, penulis lebih condong pada pendapat pertama.
Yakni pelarangan. Bukan berarti sikap ini dianggap tidak menghargai umat
Nasrani, apalagi ingin merusak suasana gembira, karena penulis meyakini kata
“silahkan” sudah dapat mewakili kata “selamat”.
Apalagi melihat kondisi tauhid umat yang sedang goyah saat
ini, oleh arus pluralisme maupun liberalisme. Maka sudah selayaknya kita
membentengi dulu akidah umat, dengan menjauhi hal-hal yang syubhat. Hal ini
juga dipegang oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah, bahwa ”Mengucapkan Selamat Hari
Natal” dapat digolongkan sebagai perbuatan yang syubhat dan bisa terjerumus
kepada haram, sehingga Muhammadiyah menganjurkan agar perbuatan ini tidak
dilakukan.
Selain itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
diketuai K.H.M. Syukri Ghozali dan Sekretarisnya Drs. H. Masudi pada 1 Jumadil
Awal 1401 H./ 7 Maret 1981 telah menyatakan; perayaan Natal di Indonesia
meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa As, akan tetapi Natal itu
tidak dapat dipisahkan dari aqidah.
Selain itu, MUI juga menfatwakan, mengikuti upacara Natal
bersama bagi ummat Islam hukumnya haram. MUI juga mengatakan, agar ummat Islam
tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah subhanahu wata’ala dan tidak
mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.Wallahu a'lam bi al-Shawab.*
Sumber: Muhammad Rifqi Arriza
Hidayatullah.com